Tragedi Tiga Digit: Kisah Penuh Harapan, FOMO, dan Tumbal
Ada tiga fase dalam hidup trader kripto pemula:
1. Keyakinan bahwa dirinya lebih pintar dari pasar. 2. Penyesalan yang mendalam karena pasar ternyata tidak peduli. 3. Doa panjang setelah membeli di pucuk lalu nyangkut.
Dan kisah ini mencakup ketiganya.
Awalnya, Bitcoin sedang di angka $112.000. Aku duduk tegak, mengenakan headset (walau nggak mendengarkan apa pun), menatap grafik candlestick dengan serius. Merasa seperti Warren Buffet yang lahir ulang di Binance.
"Aku nggak akan beli sekarang. Aku bukan retail goblok. Aku nunggu di $110.000. Di situ support kuatnya." Aku bilang ke diriku sendiri sambil membuka YouTube: “Bitcoin Next Move? Analyst Reaction” — padahal ujung-ujungnya aku tetap nggak ngerti.
Lalu Bitcoin naik. $113k... Aku masih tenang. $115k... Aku mulai gelisah, menggigit ujung bolpen. $118k... Aku refresh CoinMarketCap tiap 3 menit. $120k... Aku mulai mengkaji ulang semua prinsip hidup dan teknik trading yang kudapat dari utas Twitter orang random dengan username “CryptoMaster007”.
$123k. Itulah puncaknya. Bukan puncak harga. Puncak ego yang runtuh. Aku menatap layar sambil berkata, "Harusnya gue beli di $112k. Kenapa gue nunggu bawah sih? Kan koreksi itu mitos." Aku menangis dalam diam seperti dompet Metamask yang kosong.
Tapi harapan datang. Koreksi kecil. Bitcoin turun ke $120.000. Dan aku, dengan kombinasi dendam dan FOMO, akhirnya membeli. Dengan penuh semangat, aku pencet tombol "Buy". Limit order? Enggak. Market order. Gaskeun.
"Sekarang gue aman. Ini harga koreksi. Gak bakal turun lebih dari ini." Aku senyum. Aku update story: "Finally masuk juga… Let's go to the moon 🚀 HODL"
30 menit kemudian… BTC: $119.000. Aku tetap santai. Namanya juga market. Naik turun itu biasa.
1 jam kemudian… BTC: $118.000. Aku refresh chart tiap detik. Setiap candle merah adalah pukulan psikologis.
Malamnya… BTC: $117.000. Aku membuka aplikasi MyPertamina dan mengecek saldo Dana. Siapa tahu bisa nambah modal beli dip. Sayangnya, saldo tinggal sisa untuk beli mie instan dan kuota.
Kini aku duduk termenung. Bukan karena Bitcoin-nya. Tapi karena harga pelajaran: Ego + Harapan + FOMO = Nyangkut.
Beli saat merah, jual saat hijau katanya. Tapi kita, para pejuang candlestick, lebih sering beli pas hijau dan nyangkut pas merah. Karena bukan market yang salah… Tapi kita terlalu yakin kita lebih pintar dari algoritma yang bahkan tahu kapan kita gajian.
Halaman ini mungkin berisi konten pihak ketiga, yang disediakan untuk tujuan informasi saja (bukan pernyataan/jaminan) dan tidak boleh dianggap sebagai dukungan terhadap pandangannya oleh Gate, atau sebagai nasihat keuangan atau profesional. Lihat Penafian untuk detailnya.
Tragedi Tiga Digit: Kisah Penuh Harapan, FOMO, dan Tumbal
Ada tiga fase dalam hidup trader kripto pemula:
1. Keyakinan bahwa dirinya lebih pintar dari pasar.
2. Penyesalan yang mendalam karena pasar ternyata tidak peduli.
3. Doa panjang setelah membeli di pucuk lalu nyangkut.
Dan kisah ini mencakup ketiganya.
Awalnya, Bitcoin sedang di angka $112.000.
Aku duduk tegak, mengenakan headset (walau nggak mendengarkan apa pun), menatap grafik candlestick dengan serius.
Merasa seperti Warren Buffet yang lahir ulang di Binance.
"Aku nggak akan beli sekarang. Aku bukan retail goblok. Aku nunggu di $110.000. Di situ support kuatnya."
Aku bilang ke diriku sendiri sambil membuka YouTube: “Bitcoin Next Move? Analyst Reaction”
— padahal ujung-ujungnya aku tetap nggak ngerti.
Lalu Bitcoin naik.
$113k...
Aku masih tenang.
$115k...
Aku mulai gelisah, menggigit ujung bolpen.
$118k...
Aku refresh CoinMarketCap tiap 3 menit.
$120k...
Aku mulai mengkaji ulang semua prinsip hidup dan teknik trading yang kudapat dari utas Twitter orang random dengan username “CryptoMaster007”.
$123k.
Itulah puncaknya. Bukan puncak harga. Puncak ego yang runtuh.
Aku menatap layar sambil berkata,
"Harusnya gue beli di $112k. Kenapa gue nunggu bawah sih? Kan koreksi itu mitos."
Aku menangis dalam diam seperti dompet Metamask yang kosong.
Tapi harapan datang. Koreksi kecil.
Bitcoin turun ke $120.000.
Dan aku, dengan kombinasi dendam dan FOMO, akhirnya membeli.
Dengan penuh semangat, aku pencet tombol "Buy".
Limit order? Enggak. Market order. Gaskeun.
"Sekarang gue aman. Ini harga koreksi. Gak bakal turun lebih dari ini."
Aku senyum.
Aku update story: "Finally masuk juga… Let's go to the moon 🚀 HODL"
30 menit kemudian…
BTC: $119.000.
Aku tetap santai. Namanya juga market. Naik turun itu biasa.
1 jam kemudian…
BTC: $118.000.
Aku refresh chart tiap detik. Setiap candle merah adalah pukulan psikologis.
Malamnya…
BTC: $117.000.
Aku membuka aplikasi MyPertamina dan mengecek saldo Dana. Siapa tahu bisa nambah modal beli dip.
Sayangnya, saldo tinggal sisa untuk beli mie instan dan kuota.
Kini aku duduk termenung.
Bukan karena Bitcoin-nya. Tapi karena harga pelajaran:
Ego + Harapan + FOMO = Nyangkut.
Beli saat merah, jual saat hijau katanya.
Tapi kita, para pejuang candlestick, lebih sering beli pas hijau dan nyangkut pas merah.
Karena bukan market yang salah…
Tapi kita terlalu yakin kita lebih pintar dari algoritma yang bahkan tahu kapan kita gajian.